[[?Sesungguhnya Kami telah memberikan
kepadamu ni’mat yg banyak. Maka dirikanlah salat krn Tuhanmu dan sembelihlah hewan
. Sesungguhnya orang-orang yg membenci kamu dialah yg terputus?
Pemberian ni’mat oleh Allah kepada
manusia tak terhingga. Anak isteri dan harta kekayaan adl sebagian ni’mat dari
Allah. Kesehatan dan kesempatan juga ni’mat yg sangat penting. Manusia juga
diberi ni’mat pangkat kedudukan jabatan dan kekuasaan. Segala yg dimiliki
manusia adl ni’mat dari Allah baik berupa materi maupun non materi. Namun
bersanmaan itu pula semua ni’mat tersebut sekaligus menjadi cobaan atau ujian
fitnah atau bala? bagi manusia dalam kehidupannya. Allah berfirman ?Dan
ketahuilah bahwasanya harta kekayaanmu dan anak-nakmu adl fitnah . Dan
sesungguhnya Allah mempunyai pahala yg besar?.
Meskipun Allah memberikan ni’mat-Nya yg
tak terhingga kepada manusia tetapi dalam kenyataan Allah melebihkan apa yang
diberikan kepada seseorang daripada yg lain. Sehingga ada yg kaya raya cukup
kaya miskin bahkan ada yang menjadi seorang papa gelandangan berteduh di kolong
langit. Demikian juga ada yg menjadi penguasa ada yg rakyat jelata. Ada pimpinan/
kepala dan ada bawahan / anak buah. Ini semua juga dalam rangka cobaan bagi
siapa yang benar-benar mukmin dan siapa yg hanya mukmin di bibir saja.
Salah satu bukti bahwa seorang mukmin
telah lulus cobaan dalam ni’mat harta kekayaan adl ia dgn ikhlas mengunakannya
utk ibadah haji. Sehingga bagi orang demikian akan memperoleh haji yg mabrur.
Sedang haji mabrur pahalanya hanyalah surga sebagaimana sabda Nabi SAW ?Orang
yg dapat mencapai haji yg mabrur tiada pahala yg pantas baginya selain surga?.
.
Betapa gembira dan bahagianya orang
kaya yg dapat mencapai haji mabrur demikian. Belum lagi jika ia sempat salat
berjamaah di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi maka tiada terkira lagi
pahalanya. Namun ini konteksnya adl orang yang kaya. Sedang orang yg tidak
mampu / miskin tidak perlu berkecil hati. Bagi kita yg tidak mampu maka
konteksnya terkandung dalam hadis Nabi SAW berikut “Hajinya orang yg tidak
mampu adalah berpuasa pada hari Arafah .?
Itulah maka sangat disayangkan bila di
antara kita ada yg menyia-siakan kesempatan dari Allah yakni tidak mau berpuasa
pada tanggal 9 Zul Hijjah yg disebut puasa Arafah itu.
Cobaan tentang harta kekayaan juga
berkaitan dgn pelaksanaan ibadah udhiyah yakni menyembelih hewan yang terkenal
dgn hewan qurban di hari raya. Karena pada hari ini Allah mensyariatkan utk
ber-udhiyah {menyembelih hewan} maka hari raya ini disebut dgn hari raya Adha
wa biha sumiya yaumal-adha. Demikian juga penjelasan Rasulullah SAW ?Hari
raya fitrah adl pada hari manusia berbuka menyudahi puasa Ramadan. Sedangkan
hari raya Adha adl pada hari manusia ber-udhiyah ? .
Maka salah satu bukti lagi bahwa
seseorang lulus dari cobaan harta adl ia dgn ikhlas mau mengunakannya untuk
ber-udhiyah baik itu berupa sapi kerbau maupun kambing. Ini tergantung pada
kemampuan masing-masing. Seekor kambing boleh digunakan utk satu orang beserta
keluarga seisi rumahnya. Sedang sapi / kerbau boleh utk tujuh orang beserta
keluarga seisi rumah mereka masing-masing. Daging sembelihan ini termasuk syiar
agama yakni utk dimakan menjamu tamu diberikan kepada yg meminta atau yg tidak
meminta {orang mampu}. Daging ini juga boleh disimpan utk dimakan hingga hari
tasyrik . Allah berfirman ?Makanlah sebagiannya dan utk memberi makan orang
yg tidak meminta dan orang yg meminta?. {QS. Al-Hajj 36}.
Sementara Nabi bersabda ?Makanlah
utk memberi makan dan simpanlah !?
Sementara itu cobaan besar terhadap
sesuatu yg dimiliki manusia pernah dialami Abul Anbiya? Khalilurrahman Ibrahim
AS. Beliau telah lulus ujian atau cobaan dari Allah. Hal ini didokumentasikan
dalam Al-Qur?an ?Dan ketika Ibrahim diberi cabaan oleh Tuhannya dgn beberapa
kalimat lalu Ibrahim lulus dalam cobaan itu. Allah berfirman ?Sesungguhnya Aku
menjadikan kamu hai Ibrahim Imam semua manusia ..?. ?
Kelulusan Ibrahim tidak hanya dalam
melaksanakan perintah Allah tetapi juga dalam kebijaksanaannya menyampaikan
perintah itu kepada anaknya yg sangat dicintainya. Beliau tidak langsung
mengambilnya tiba-tiba dan tidak pula mencari kelengahan atau dgn taktik
menculik teror dan intimidasi. Meskipun Ibrahim memiliki massa yg banyak tetapi
beliau tidak menggunakan massa agar anaknya bertekuk lutut di hadapannya.
Perintah Allah disampaikannya dgn transparan penuh argumentasi Ilahiah.
Sedangkan Ismail anak yg patuh dan
mengerti kedudukan orang tuanya dan posisinya sebagai anak ia tidak membangkang
dan tidak bimbang. Ismail memberikan jawaban yg memancarkan keimanan tawaddu?
dan tawakkal kepada Allah bukan utk menonjolkan kepahlawanan atau kegagahan
mencari popularitas. Ia tidak melakukan unjuk rasa yang konfrontatif tanpa
mengindahkan akhlakul karimah atau dgn kekerasan utk memprotes kehendak
bapaknya.
Sungguh dua tokoh bapak dan anak ini
merupakan uswah hasanah bagi umat manusia. Bahkan syariat Nabi Muhammad SAW
merupakan syariat yg dulunya telah diwahyukan Allah kepada Ibrahim . Maka kita
menyembelih hewan qurban di hari ?Idul Adha ini termasuk meneladani sunnah
Ibrahim sebagaimana sabda Nabi SAW ?Sunnatu abikum Ibrahim.? .
?Idul Adha memiliki makna yg penting
dalam kehidupan. Makna ini perlu kita renungkan dalam-dalam dan selalu kita
kaji ulang agar kita lulus dari berbagai cobaan Allah. Makna ?Idul Adha
tersebut
Menyadari
kembali bahwa makhluk yg namanya manusia ini adl kecil belaka betapapun
berbagai kebesaran disandangnya. Inilah makna kita mengumandangkan takbir
Allahu akbar !
Menyadari
kembali bahwa tiada yg boleh di-Tuhankan selain Allah. Menuhankan selain Allah
bukanlah semata-mata menyembah berhala seperti di zaman jahiliah. Di zaman
globalisasi ini orang dapat menuhankan tokoh lebih-lebih lagi si Tokoh itu
sempat menjadi pucuk pimpinan partainya menjadi presiden/wakil presiden atau
ketua lembaga perwakilan rakyat. Orang sekarang juga cenderung menuhankan
politik dan ekonomi. Politik adalah segala-galanya dan ekonomi adl tujuan
hidupnya yg sejati. Bahkan HAM menjadi acuan utama segala gerak kehidupan
sementara HAT diabaikan. Inilah makna kita kumandangkan kalimah tauhid La ilaha
illallah !
Menyadari
kembali bahwa pada hakikatnya yg memiliki puja dan puji itu hanyalah Allah. Maka
alangkah celakanya orang yg gila puja dan puji sehingga kepalanya cepat
membesar dadanya melebar dan hidungnya bengah bila dipuji orang lain. Namun
segera naik pitam wajah merah dan jantung berdetak melambung bila ada orang
yang mencela mengkritik dan mengoreksinya. Inilah makna kita kumandangkan
tahmid Wa lillahil-hamd !
Menyadari
kembali bahwa manusia ini ibarat sedang melancong atau bepergian yg suatu saat
rindu utk pulang ke tempat tinggal asal yakni tempat yg mula-mula dibangun
rumah ibadah bagi manusia Ka?bah Baitullah. Inilah salah satu makna bagi yg
istita?ah tidak menunda-nunda lagi berhaji ke Baitullah. Di sini pula manusia
disadarkan kembali bahwa pada hakikatnya manusia itu satu keluarga dalam ikatan
satu keimanan. Siaopa pun dia dari bangsa apapun adl saudara bila ia mukmin
atau muslim. Tetapi bila seseorang itu kafir adl bukan saudara kita meskipun
dia lahir dari rahim ibu yg sama. Maka orang yg pulang dari haji hendaknya
menjadi uswah hasanah bagi warga sekitarnya tidak membesar-besarkan perbedaan
yg dimiliki sesama muslim terutama dalam hal yg disebut furu?iyah.
Menyadari
kembali bahwa segala ni’mat yg diberikan Allah pada hakikatnaya adl sebagai
cobaan atau ujian. Apabila ni’mat itu diminta kembali oleh yg memberi maka
manusia tidak dapat berbuat apa-apa. Hari ini jadi konglomerat esok bisa jadi
melarat dgn hutang bertumpuk jadi karat. Sekarang berkuasa lusa bisa jadi hina
tersia-sia oleh massa. Kemaren jadi kepala kantor dgn mobil Timor entah kapan
mungkin bisa jadi bahan humor krn naik sepeda bocor. Sedang ni’mat yg berupa
harta hendaknya kita ikhlas utk berinfaq di jalan Allah seperti utk ber-udhiyah
.
Percayalah
dalam hal harta apabila kita ikhlas di jalan Allah niscaya Allah akan
membalasnya dgn berlipat ganda. Tetapi jika kita justru kikir pelit tamak
bahkan rakus tunggulah kekurangan kemiskinan dan kegelisahan hati selalu
menghimpitnya.
Akhirnya semoga ?Idul
Adha dgn berbagai ibadah yg kita laksanakan sekarang ini dapat membangunkan
kembali tidur kita . Kemudian kita berihtiar lagi sekuat tenaga utk
memperbanyak amal saleh sebagai pelebur amal-amal buruk selama ini. Amin !
Oleh Drs. Syafi’i
Salim Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia
Bulan ini merupakan bulan bersejarah
bagi umat Islam. Pasalnya, di bulan ini kaum muslimin dari berbagai belahan
dunia melaksanakan rukun Islam yang kelima. Ibadah haji adalah ritual ibadah
yang mengajarkan persamaan di antara sesama. Dengannya, Islam tampak sebagai
agama yang tidak mengenal status sosial. Kaya, miskin, pejabat, rakyat, kulit
hitam ataupun kulit putih semua memakai pakaian yang sama. Bersama-sama
melakukan aktivitas yang sama pula yakni manasik haji.
Selain ibadah haji, pada bulan ini
umat Islam merayakan hari raya Idul Adha. Lantunan takbir diiringi tabuhan
bedug menggema menambah semaraknya hari raya. Suara takbir bersahut-sahutan
mengajak kita untuk sejenak melakukan refleksi bahwa tidak ada yang agung,
tidak ada yang layak untuk disembah kecuali Allah, Tuhan semesta alam.
Pada hari itu, kaum muslimin selain
dianjurkan melakukan shalat sunnah dua rekaat, juga dianjurkan untuk
menyembelih binatang kurban bagi yang mampu. Anjuran berkurban ini bermula
dari kisah penyembelihan Nabi Ibrahim kepada putra terkasihnya yakni Nabi
Ismail.
Peristiwa ini memberikan kesan yang
mendalam bagi kita. Betapa tidak. Nabi Ibrahim yang telah menunggu kehadiran
buah hati selama bertahun-tahun ternyata diuji Tuhan untuk menyembelih
putranya sendiri. Nabi Ibrahim dituntut untuk memilih antara melaksanakan
perintah Tuhan atau mempertahankan buah hati dengan konsekuensi tidak
mengindahkan perintahNya. Sebuah pilihan yang cukup dilematis. Namun karena
didasari ketakwaan yang kuat, perintah Tuhanpun dilaksanakan. Dan pada
akhirnya, Nabi Ismail tidak jadi disembelih dengan digantikan seekor domba.
Legenda mengharukan ini diabadikan dalam al Quran surat al Shaffat ayat
102-109.
Kisah tersebut merupakan potret
puncak kepatuhan seorang hamba kepada Tuhannya. Nabi Ibrahim mencintai Allah
melebihi segalanya, termasuk darah dagingnya sendiri. Kecintaan Nabi Ibrahim
terhadap putra kesayangannya tidak menghalangi ketaatan kepada Tuhan. Model
ketakwaan Nabi Ibrahim ini patut untuk kita teladani.
Dari berbagai media, kita bisa
melihat betapa budaya korupsi masih merajalela. Demi menumpuk kekayaan rela
menanggalkan ”baju” ketakwaan. Ambisi untuk meraih jabatan telah memaksa
untuk rela menjebol ”benteng-benteng” agama. Dewasa ini, tata kehidupan telah
banyak yang menyimpang dari nilai-nilai ketuhanan. Dengan semangat Idul Adha,
mari kita teladani sosok Nabi Ibrahim. Berusaha memaksimalkan rasa patuh dan
taat terhadap ajaran agama.
Di samping itu, ada pelajaran
berharga lain yang bisa dipetik dari kisah tersebut. Sebagaimana kita ketahui
bahwa perintah menyembelih Nabi Ismail ini pada akhirnya digantikan seekor
domba. Pesan tersirat dari adegan ini adalah ajaran Islam yang begitu
menghargai betapa pentingnya nyawa manusia.
Hal ini senada dengan apa yang
digaungkan Imam Syatibi dalam magnum opusnya al Muwafaqot. Menurut Syatibi,
satu diantara nilai universal Islam (maqoshid al syari’ah) adalah agama
menjaga hak hidup (hifdzu al nafs). Begitu pula dalam ranah fikih, agama
mensyari’atkan qishosh, larangan pembunuhan dll. Hal ini mempertegas bahwa
Islam benar-benar melindungi hak hidup manusia. (hlm.220 )
Nabi Ismail rela mengorbankan
dirinya tak lain hanyalah demi mentaati perintahNya. Berbeda dengan para
teroris dan pelaku bom bunuh diri. Apakah pengorbanan yang mereka lakukan
benar-benar memenuhi perintah Tuhan demi kejayaan Islam atau justru
sebaliknya?.
Para teroris dan pelaku bom bunuh
diri jelas tidak sesuai dengan nilai universal Islam. Islam menjaga hak
untuk hidup, sementara mereka—dengan aksi bom bunuh diri— justru
mencelakakan dirinya sendiri. Di samping itu, mereka juga membunuh
rakyat sipil tak bersalah, banyak korban tak berdosa berjatuhan. Lebih parah
lagi, mereka bukan membuat Islam berwibawa di mata dunia, melainkan menjadikan
Islam sebagai agama yang menakutkan, agama pedang dan sarang kekerasan.
Akibat aksi nekat mereka ini justru menjadikan Islam laksana ”raksasa”
kanibal yang haus darah manusia.
Imam Ghazali dalam Ihya ’Ulumuddin
pernah menjelaskan tentang tata cara melakukan amar ma’ruf nahi munkar.
Menurutnya, tindakan dalam bentuk aksi pengrusakan, penghancuran tempat
kemaksiatan adalah wewenang negara atau badan yang mendapatkan legalitas
negara. Tindakan yang dilakukan Islam garis keras dalam hal ini jelas tidak
prosedural. (vol.2 hlm.311)
Sudah semestinya dalam melakukan amar
makruf nahi munkar tidak sampai menimbulkan kemunkaran yang lebih besar.
Bukankah tindakan para teroris dan pelaku bom bunuh diri ini justru merugikan
terhadap Islam itu sendiri ?. Merusak citra Islam yang semestinya mengajarkan
kedamaian dan rahmatan lil ’alamin. Ajaran Islam yang bersifat humanis,
memahami pluralitas dan menghargai kemajemukan semakin tak bermakna.
Semoga dengan peristiwa eksekusi mati
Amrozi cs, mati pula radikalisme Islam, terkubur pula Islam yang berwajah
seram. Pengorbanan Nabi Ismail yang begitu tulus menjalankan perintahNya
jelas berbeda dengan pengorbanan para teroris.
Di hari Idul Adha, bagi umat Islam
yang mampu dianjurkan untuk menyembelih binatang kurban. Pada dasarnya,
penyembelihan binatang kurban ini mengandung dua nilai yakni kesalehan ritual
dan kesalehan sosial. Kesalehan ritual berarti dengan berkurban, kita telah
melaksanakan perintah Tuhan yang bersifat transedental. Kurban dikatakan
sebagai kesalehan sosial karena selain sebagai ritual keagamaan, kurban juga
mempunyai dimensi kemanusiaan.
Bentuk solidaritas kemanusiaan ini
termanifestasikan secara jelas dalam pembagian daging kurban. Perintah
berkurban bagi yang mampu ini menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang
respek terhadap fakir-miskin dan kaum dhu’afa lainnya. Dengan
disyari’atkannya kurban, kaum muslimin dilatih untuk mempertebal rasa
kemanusiaan, mengasah kepekaan terhadap masalah-masalah sosial,
mengajarkan sikap saling menyayangi terhadap sesama.
Meski waktu pelaksanaan penyembelihan
kurban dibatasi (10-13 Dzulhijjah), namun jangan dipahami bahwa Islam
membatasi solidaritas kemanusiaan. Kita harus mampu menangkap makna esensial
dari pesan yang disampaikan teks, bukan memahami teks secara literal. Oleh
karenanya, semangat untuk terus ’berkurban’ senantiasa kita langgengkan pasca
Idul Adha.
Saat ini kerap kita jumpai, banyak
kaum muslimin yang hanya berlomba meningkatkan kualitas kesalehan ritual
tanpa diimbangi dengan kesalehan sosial. Banyak umat Islam yang hanya rajin
shalat, puasa bahkan mampu ibadah haji berkali-kali, namun tidak peduli
dengan masyarakat sekitarnya. Sebuah fenomena yang menyedihkan. Mari kita
jadikan Idul Adha sebagai momentum untuk meningkatkan dua kesalehan sekaligus
yakni kesalehan ritual dan kesalehan sosial. Selamat berhari raya !
* Koordinator Forum Kajian ’Beras’ (Bengkel Turas) Kediri.
Staf Ahli Majalah Misykat Kediri.
Alamat: Kantor Majalah Misykat Jln.
HM Winarto no.05 Campurejo Mojoroto Kota Kediri Jatim
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Gunakanlah Bahasa yang Baik dan Sopan
Terima Kasih